Ini Dia Info Lengkap Prosedur Menikah di KUA dan di Luar KUA
Pemerintahan Presiden Joko Widodo
terus berusaha mempercepat laju roda perekonomian nasional. “Di tengah
perekonomian global yang masih lesu, Indonesia terus berusaha meningkatkan daya
saing dan mendorong pertumbuhan ekonomi dalam negeri,” kata Menteri Koordinator
Bidang Perekonomian Darmin Nasution di Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa
(29/3).
Oleh karena itu pemerintah kembali
mengeluarkan Paket Kebijakan Ekonomi XI untuk memberi stimulus terhadap
perekonomian nasional. Kali ini, kebijakan pemerintah menyentuh beberapa sektor
yang melibatkan pengusaha kecil maupun industri.
1. Kredit Usaha Rakyat Berorientasi
Ekspor (KURBE)
Fasilitas kredit ini diberikan
sebagai stimulus kepada Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM)untuk
meningkatkan daya saing produk ekspor UMKM berbasis kerakyatan. Melalui
fasilitas kredit ini diharapkan kualitas dan nilai tambah produk ekspor UMKM
lebih meningkat.
KURBE menyediakan fasilitas
pembiayaan ekspor yang lengkap dan terpadu untuk modal kerja (Kredit Modal
Kerja Ekspor/KMKE) dan investasi (Kredit Investasi Ekspor/KIE) bagi UMKM.
Dengan tingkat suku bunga 9% tanpa subsidi, penyaluran kredit ini bakal ditangani
Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia/LPEI (Indonesia Exim Bank).
Berjangka paling lama 3 tahun untuk
KMKE dan/atau 5 tahun untuk KIE, batas maksimal KURBE Mikro adalah sebesar Rp 5
Miliar. Sedangkankan KURBE Kecil maksimal kredit yang bisa diberikan sebesar Rp
25 Miliar (dengan ketentuan maksimal KMKE sebesar Rp 15 Miliar) dan KURBE
Menengah maksimal sebesar Rp 50 Miliar (dengan ketentuan maksimal KMKE sebesar
Rp 25 Miliar).
Sasaran utama KURBE adalah
supplier/plasma yang menjadi penunjang industri dan industri/usaha yang
melibatkan banyak tenaga kerja sesuai skala usahanya.
2. Fasilitas Pajak Penghasilan dan
Bea Perolehan Atas Hak Tanah dan Bangunan (BPHTB) Untuk Penerbitan Dana
Investasi Real Estat (DIRE)
Kegiatan real estate menurun sejak
2014,padahal sektor ini merupakan salah satu sektor padat karya. Untuk
menghimpun dana demi perluasan usaha, beberapa pengusaha real estat Indonesia
menerbitkan Real Estate Investment Trust (REITs) atau DIRE di pasar modal
negara tetangga. Sedangkan jumlah DIRE di dalam negeri sangat rendah,hanya ada
1 DIRE yang diterbitkan sejak 2012. DIRE di Indonesia tidak menarik karena
adanya pengenaan pajak berganda dan tarif pajak yang lebih tinggi dari negara
tetangga.
Untuk meningkatkan penerbitan DIRE
di dalam negeri, pada Paket Kebijakan Ekonomi V telah diterbitkan Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 200 Tahun 2015 tentang Perlakuan Perpajakan bagi Wajib
Pajak dan Pengusaha Kena Pajak yang Menggunakan Skema Kontrak Investasi
Kolektif Tertentu Dalam Rangka Pendalaman Sektor Keuangan. PMK ini sudah
menghapus pengenaan pajak berganda dalam penerbitan DIRE, tapi masih mengenakan
tarif pajak yang masih lebih tinggi dibanding negara tetangga.
Oleh karena itu, pemerintah akan
menurunkan tarif Pajak Penghasilan (PPh)final dan tarif BPHTB selama beberapa
tahun, melalui:
- Penerbitan Peraturan Pemerintah mengenai Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Real Estat Dalam Skema Kontrak Investasi Kolektif Tertentu yang mengatur pemberian fasilitas Pajak Penghasilan final berupa pemotongan tarif hingga 0,5% dari tarif normal 5% kepada perusahaan yang menerbitkan DIRE.
- Penerbitan Peraturan Pemerintah mengenai Insentif dan Kemudahan Investasi di Daerah, yang antara lain mengatur penurunan tarif BPHTB dari maksimum 5% menjadi 1% bagi tanah dan bangunan yang menjadi aset DIRE.
- PenerbitanPeraturan Daerah (Perda) bagi daerah yang berminat untuk mendukung pelaksanaan DIRE di daerahnya.
Percepatan pengembangan DIRE di
tanah air ditujukan untuk mendorong pendalaman sektor keuangan melalui peningkatan
kapitalisasi pasar modal. Kebijakan ini juga dapat memperkuat peran bursa efek
sebagai alternatif sumber dana jangka panjang.
Penerbitan DIRE dengan biaya yang
relatif rendah juga meningkatkan efisiensi dalam penyediaan dana investasi
jangka panjang. Hal ini akan menunjang percepatan pembangunan infrastruktur dan
perumahan sesuai Program Jangka Menengah Nasional 2015-2019.
3. Sektor Logistik
Arus barang di pelabuhan masih
terhambat sehingga perlu dilakukan pengendalian risiko untuk memperlancar arus
barang di pelabuhan (Indonesia Single Risk Management, ISRM).
Ada beberapa hal yang menjadi
kendala dalam hal customs clearence dan cargo release di pelabuhan, di
antaranya: (1) pelayanan atas perijinan ekspor impor
olehKementrian/Lembaga (K/L)pada kondisi tertentu yang bersifat transaksional
memerlukan waktu lama; (2) adanya perlakuan pelayanan yang berbeda-beda atas
Pengguna Jasa yang sama di setiap K/L, sehingga menimbulkan ketidakpastian dan
in-efisiensi dalam kegiatanekspor impor; dan (3) pengelolaan risiko pada K/L
belum dilakukan secara sistematis dan belum terintegrasi.
Semua hal tersebut di atas
menyebabkan capaian kinerja logistik belum optimal. Ukuran yang paling konkret
dan sering menjadi patokan adalah dwelling time, di mana pada akhir tahun 2015
tercatat rata-rata masih membutuhkan waktu 4,7 hari.
Oleh sebab itu, pemerintah
mewajibkan semua K/L untuk mengembangkan fasilitas pengajuan permohonan
perizinan secara tunggal (single submission) melalui Portal Indonesia National
Single Window (INSW) untuk pemrosesan perizinan.
Selain itu, pemerintah juga
menetapkan penerapan Indonesia Single Risk Management (ISRM) dalam sistem INSW
dengan melakukan penerapan identitas tunggal dan penyatuan informasi pelaku
usaha dalam kegiatan ekspor impor, sebagai base profile risiko dan single
treatment dalam pelayanan perizinan masing-masing K/L.
Untuk tahap awal, pemerintah
meluncurkan model single risk management dalam platformsingle submission antar
BPOM dengan Bea dan Cukaiyang diperkirakan dapat menurunkan dwelling time
terhadap produk-produk bahan baku obat, makanan minuman, dan produk lain yang
membutuhkan perizinan dari BPOMdari 4,7 Hari menjadi sekitar 3,7 Hari pada
bulan Agustus 2016.
Untuk tahap berikutnya, pemerintah
mewajibkanpenerapan single risk managementpada Agustus 2016, dandiperluas
penerapannya untuk beberapa K/L seperti Kementerian Perdagangan, Kementerian
Pertanian, sehingga pada akhir tahun 2016, diharapkan dapat berpengaruh pada
penurunan dwelling time menjadi 3,5 Hari secara nasional.
Terakhir, menerapkan single risk
management secara penuh pada seluruh Kementerian/Lembagapenerbit perizinan
ekspor/impor. Ini akan menaikkan tingkat kepatuhan Indonesia terhadap WTO Trade
Facilitation Agreement menjadi 70% serta menurunkan dwelling time menjadi
kurang dari 3 Hari pada akhir 2017.
4. Pengembangan Industri Farmasi dan
Alat Kesehatan
Saat ini terdapat 206 industri
farmasi yang mendominasi pangsa pasar obat nasional (76%), tetapi 95% bahan
baku obat masih diimpor. Selai itu, ada 95 industri alat kesehatan (alkes) yang
memproduksi 60 jenis dengan teknologi middle-low dengan kelas risiko
rendah-menengah, memiliki pertumbuhan 12% per tahun, tetapi 90% alkes masih
diimpor.
Kondisi ini tentu perlu
direstrukturisasi, mengingat kebijakan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)
memerlukan dukungan dan kemampuan produksi dalam negeri. “Perlu diambil
langkah-langkah kebijakan yang terintegrasi (tailor-made policy) yang
melibatkan dukungan semua K/L, BUMN dan pemangku kepentingan lainnya untuk
mempercepat pengembangan industri farmasi tanah air,” ujar Darmin Nasution.
Untuk itu, pemerintah akan segera
menyusun road map dan action plan pengembangan industri farmasi dan alkes,
mengembangkan riset di bidang farmasi dan alkes serta menyusun kebijakan yang
mendorong investasi di bidang industri farmasi dan alkes. Kebijakan yang
dimaksud, salah satunya adaah kebijakan fiskal, antara lain pembebasan atau
penurunan bea masuk, tax holliday dan tax allowance di bidang ini.(ekon)
www.keminfo.go.id
Keterangan Foto: Presiden Joko
Widodo (ketiga kanan) didampingi Menkeu Bambang Brodjonegoro (kedua kanan) dan
Menkominfo Rudiantara (kiri) melakukan peninjauan ke salah satu gudang usai
meresmikan secara simbolis 11 Pusat Logistik Berikat (PLB) di Indonesia di
Kawasan Industri Krida Bahari, Cakung, Jakarta Utara, Kamis (10/3). Keberadaan
PLB ini merupakan realisasi dari Paket Kebijakan Ekonomi jilid II yang
diharapkan dapat menurunkan biaya logistik nasional, mempercepat waktu bongkar
muat (dwelling time) di pelabuhan serta mampu menarik investasi untuk
pertumbuhan ekonomi nasional. ANTARA FOTO