Breaking News

Tuesday, 5 April 2016

Kisah Sepeda Tua dan Perjumpaan Soekarno dengan Marhaenisme


Soekarno berkeliling dengan sepeda (foto:Istimewa/sepedaonthel.com)
SEPEDA merupakan bagian kecil dari kehidupan Presiden Soekarno yang sangat penting. Saat sedang asyik bersepeda, Soekarno kerap mengalami berbagai peristiwa tidak terlupakan. Di antaranya saat bertemu dengan pemuda Marhaen. 

Dalam buku Kuantar ke Gerbang, Inggit Ganarsih menceritakan, dengan wajah penuh gembira Bung Karno bercerita bahwa dirinya habis mengayuh sepeda ke Cigereleng sampai di Desa Cibintinu dan bertemu dengan petani yang masih muda bernama Marhaen.

Dengan penuh semangat, Soekarno menceritakan kesannya setelah bertemu pemuda Marhaen. Dia menggambarkan sosok Marhaen sebagai petani kecil dengan milik kecil, dan punya alat-alat kecil sekadar cukup untuk dirinya sendiri.

Penghasilan petani Marhaen juga kecil, sekadar cukup untuk dirinya sendiri dan mengganjal perut keluarganya. Tidak ada yang lebihnya sedikit pun. Dia juga tidak bekerja untuk orang lain dan tidak ada orang lain yang bekerja untuknya.

Singkat kata, pada diri Marhaen tidak ada pengisapan tenaga dari seseorang oleh orang lain. "Marhaenisme adalah sosialisme Indonesia dalam praktik," tegas Soekarno kepada Inggit, seperti dikutip dalam halaman 57.

Pertemuan antara Soekarno dengan petani Marhaen juga diceritakan dalam buku Untold Story, Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Saat itu Soekarno sedang mendayung sepeda, sambil berpikir, tanpa tujuan di selatan Kota Bandung.

Daerah yang dilalui sepeda Soekarno adalah kawasan pertanian yang padat, di mana orang bisa menyaksikan para petani mengerjakan sawahnya yang kecil, yang masing-masing luasnya kurang dari sepertiga hektare.

Saat itu, perhatian Soekarno tertuju pada seorang petani yang sedang mencangkul tanah miliknya. Petani itu bekerja seorang diri, dan pakaiannya sudah lusuh. Setelah menghentikan aju sepedanya, Soekarno sempat memperhatikannya dengan diam.

Kemudian Soekarno mendekati petani itu dan berbicara dengannya menggunakan bahasa Sunda. "Siapa yang punya semua yang engkau kerjakan sekarang ini?" kata Soekarno kepada petani itu. "Saya, juragan," jawab petani itu.

Soekarno melanjutkan, "Apakah engkau memiliki tanah ini bersama-sama dengan orang lain?" Dijawab, "O, tidak, gan. Saya sendiri yang punya." "Tanah ini kau beli?" sambung Soekarno. "Tidak. Warisan bapak kepada anak turun temurun," tegasnya.

Usai percakapan singkat itu, petani Marhaen melanjutkan pekerjaannya mencangkul sawah. Sementara Soekarno diam sejenak, mengumpulkan pertanyaan-pertanyaan yang sedang dipikirkannya saat bersepeda tadi. Percakapan pun dimulai lagi.

"Bagaimana dengan sekopmu? Sekop ini kecil, tapi apa ini kepunyaanmu juga?" tanya Soekarno. "Ya, gan," jawabnya. "Dan cangkul?" sambungnya. "Ya, gan," jawabnya. "Bajak?" tambah Soekarno. "Saya punya, gan," katanya.

"Untuk siapa hasil yang kaukerjakan?" sambung Soekarno lagi. "Untuk saya, gan," jawabnya. "Apakah cukup untuk kebutuhanmu?" tanya Soekarno mendesak. Pernyataan itu sempat membuat petani Marhaen diam dan berpikir sejenak.

"Bagaimana sawah yang begini kecil bisa cukup untuk seorang istri dan empat orang anak?" jawab petani itu segera dengan pertanyaan. Setelah mendengar jawaban itu, Soekarno kembali melanjutkan pertanyaan-pertanyaannya.

"Apakah ada yang dijual dari hasilmu?" katanya. "Hasilnya sekadar cukup untuk makan kami. Tidak ada lebihnya untuk dijual," jawabnya. "Kau pekerjakan orang lain?" sambungnya. "Tidak, juragan. Saya tidak dapat membayarnya," jawabnya.

"Apakah engkau pernah memburuh?" sambung Soekarno memburu. "Tidak, gan. Saya harus membanting tulang, akan tetapi jerih payah saya semua untuk saya," jawab petani Marhaen lagi. Soekarno diam sebentar dan mengalihkan pandangannya.

Post a Comment